simPATI Promo Talkmania Super


Telkomsel kembali memberikan kemudahan dan kemurahan bagi pengguna simPATI di beberapa daerah di Regional Sumatera dengan diluncurkannya promo tarif terbaru  simPATI SUPER TALKMANIA

promo TM Super yang berlaku di Sumatera Utara per 9 Maret 2013 dengan summary perubahan sebagai berikut :


Siang
Malam
Cara mendapatkan
1 .   Ketik TM <spasi>SUPER
 kirim ke 8999 
1.  Ketik TM <spasi> SUPER        Kirim ke 8999


2.  Cek *999*98#
2.  Cek *999*98#
Sumatera Utara
Tarif Rp 1,500
Tarif Rp 1,500


100 Menit ke sesame Telkomsel
100 Menit ke sesame Telkomsel
Waktu  Pendaftaran
01.00 - 12.00 WIB
18.00 - 21.00 WIB
Waktu Penggunaan
01.00 - 18.00 Waktu setempat
18.00 - 24.00 Waktu setempat
Minimal sisa pulsa 
Rp 5.000
Rp 5.000
Cek bonus
*889#
*889#


berikut saya coba jelaskan sedikit tentang simPATI SUPER TALKMANIA :

  • untuk mengetahui bahwa layanan simPATI Talkmania telah aktif? Setelah Anda mendaftar layanan simPATI Talkmania maka Anda akan menerima SMS notifikasi ketika pendaftaran yang anda lakukan telah berhasil
  • mungkin anda bertanya, Apakah simPATI Talkmania dapat digunakan di selain area/daerah dia mendaftar? Ya, penggunaan simPATI Talkmania bisa di seluruh nusantara, walaupun pengguna sedang tidak berada di daerah dimana pengguna simPATI tersebut mendaftar simPATI Talkmania
  • Untuk Layanan simPATI Talkmania pelanggan dapat membeli paket simPATI Talkmania dengan restriksi sebagai berikut :
    • Maksimal 1 kali dalam sehari
    • Pelanggan yang sudah membeli Talkmania dengan keyword TM<spasi>ON tidak dapat membeli Talkmania regional dengan keyword TM<spasi>SUPER pada satu hari yang sama
  • Apabila account simPATI Talkmania Anda telah habis dan panggilan belum terputus, maka biaya selanjutnya dibebankan pada account yang memiliki prioritas selanjutnya seperti bonus menit, bonus Pulsa Telkomsel dan kemudian baru pulsa utama
  • Setelah periode berakhir, sisa bonus simPATI Talkmania akan dihapus dari account (hangus).
  • Pengguna simPATI dapat melakukan cek sisa durasi simPATI Talkmania dengan cara akses ke menu USSD, ketik *889#, kemudian YES/OK, GRATIS. Informasi yang dapat ditampilkan dari menu *889# selain informasi sisa durasi simPATI Talkmania berisi pula informasi bonus-bonus yang lain (Bonus Menit, Bonus Pulsa Telkomsel, Bonus data). Jika bonus-bonus layanan tersebut sedang tidak aktif, maka tidak ada tambahan informasi.  Contoh tampilan informasi dari *889#
semoga bermanfaat,,,



Marga (Mado) Suku Nias

marga suku Nias mungkin banyak yang belum tau, bahkan kita suku nias sendri mungkin masih ada yang belum tau semua marga-marga kita suku nias
untuk anda yang ingin tau marga suku nias yang lengkap berikut saya tuliskan :
Amazihõnõ, Baeha, Baene, Bago, Bali, Bate’e, Bawamenewi, Bawaulu, Bazikho, Bidaya, Bohalima, Bulu’aro, Bunawõlõ, Bu’ulõlõ, Buaya, Daeli, Dakhi, Dawõlõ, Daya, Dohare, Dohude, Duha, Famaugu, Fanaetu, Fau, Finowa’a, Gaho, Ganumba, Garamba, Gari, Gaurifa, Ge’e, Gea, Giawa, Gowasa, Gõri, Gulõ, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrõ, Hulu, Humendru, Hura, La’ia, Lafau, Lahagu, Lahu, Laoli, Laowõ, Larosa, Lase, Lature, Luahambowo, Lawõlõ, Lõ’i, Lõmbu, Maduwu, Manaõ, Manaraja, Maru’ao, Maruhawa, Marundruri, Marulafau, Mendrõfa, Mõhõ, Nakhe, Nazara, Ndraha, Nduru, Nehe, Saota, Sarahõnõ, Sarumaha, Sihura, Tafõna’õ, Telaumbanua, Wakho, Waoma, Waõ, Warasi, Waruwu, Wate, Wa’u, Waya, Zagõtõ, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratõ, Ziawa, Zidõmi, Ziliwu, Ziraluo, Zõrõmi.

KASTA
Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

ASAL USUL
Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul, suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Mitos tersebut mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Tahta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

semoga bermanfaat,,,

Asal Usul Suku Nias


Nias ( tanÖ niha )  adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak tertua di Nusantara.



Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur Orang Nias
mitos/cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah :sal

sowanua atau ono mbela.

Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik ((Hammerle, 2007). Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan.

Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah? Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua.

Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah.

Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan (Wiradnyana, 2006). Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda (Wiradnyana, 2008).

Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah) (Sonjaya, 2008).

Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter (2005), bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat —melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.

Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani.

Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-kahir ini –setelah dikelola lebih serius— sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak dijalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa‘u –Gomo— Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam

B. Konsepsi Leluhur Orang Nias

Untuk mengetahui lebih jelas dari mana asal-usul atau leluhur orang Nias saat ini, perlu disebutkan terlebih dahulu sejarah lisan yang berkembang di Nias mengenai pembagian kelompok etnis yang ada di pulau ini. Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; (2) Niha safusi,yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias)

Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias. Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan kemudian punah.

Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka menjadi punah. 1. Ono mbela atau Niha Safusi

Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa.

Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias. Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi

Sayang, usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan –bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan perladangan yang intensif.

Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid, manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya. Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan (Sonjaya, 2008).

2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu

Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua, sebagaimana umumnya manusia purba lainnya.

Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia, mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: ya mu‘a ö nadaoya ya mana ndraugö nadaoya (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias.

Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba. Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan

Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkanbatu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam
Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja, karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi (tuan-budak)

Terkait dengan kondisi di atas, Sonjaya (2008) dengan sangat baik membuat analogi mengenai interaksi antara manusia gua dengan kelompok pendatang. Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat) berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005), sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya. Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta.

3. Lani Ewöna atau Ono Niha

Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008).

Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak, diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo (Hammerle, 2007).

Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan.Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki. Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan, seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini. Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008).

Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo, yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu, pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaituperahu. Gomo merujuk pada wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008).

Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan ono mbela dan nadaoya. Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah (Nata‘alui Duha, 2008). Secara lebih sistematis, penyebab kepunahan ono mbela dan nadaoya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pertama, berlakunya hukum rimba. Manusia purba menganut hukum rimba, siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan dapat bertahan hidup. Ketika orang Yunan datang ke Nias, dengan berbagai keunggulan pengetahuan dan teknologinya, secara logika mereka lebih kuat dibanding dengan ono mbela dan nadaoya. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Ono mbela dan nadaoya yang terdesak kemudian mengasingkan diri. Karena hanya mengandalkan ketersediaan pangan dari alam, mereka akhirnya punah karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial yang terus berubah dan sumber pangan yang semakin menipis. Mungkin juga telah terjadi peperangan di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Kaum pendatang yang menguasai teknologi lebih maju, akhirnya memenangkan peperangan tersebut.

Kedua, sumber daya alam yang menipis. Lantaran manusia purba seperti kelompok ono mbela dan nadaoya sangat bergantung pada alam, maka ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang dan akhirnya punah.

Ketiga, pembauran melalui perkimpoian. Persinggungan antara kelompok pendatang dengan kelompok-kelompok asli tidak hanya berujung pada persaingan dan peperangan saja, tetapi juga sangat mungkin telah terjadi perkimpoian di antara mereka. Terlebih lagi –seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ono mbela itu cantik-cantik, sehingga sudah barang tentu, suka atau tidak suka, mereka potensial dikimpoii oleh kaum pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai kelompok ono mbela atau nadaoya, tetapi mengikuti garis keturunan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa. Mengenai hal ini, Hammerle (2001) mengusulkan kepada para peneliti untuk meneliti DNA manusia Nias saat ini untuk menguji apakah telah terjadi pembauran secara genetik antara kelompok pendatang dengan kelompok asli.


Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkimpoian antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.

Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo).

Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö (Sonjaya, 2008).

Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat M.G. Thomsen dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu (Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya, pendapat Thomsen tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai berikut:

“Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.”

Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil.

Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah (Deschamps, 1982).

Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha, manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut pengaruhnya semenjak para misionaris Barat mewartakan agama Kristiani di pulau ini pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, suasana permusuhan yang terwarisi secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing (Hammerle, 2001).

C. Implikasi Sosial

Di bagian ini akan dibahas implikasi-implikasi sosial sebagai bagian dari konsekuensi pemahaman orang Nias terhadap leluhur mereka. Orang Nias adalah kelompok etnis yang sampai saat ini masih cukup kuat memegang teguh tradisi, yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi antara orang Nias saat ini dengan leluhurnya, dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk mengukuhkan identitas sosial.

Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari leluhurnya. Mereka memraktekkan banyak ritual, karena hampir setiap peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias.

Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Nias.

Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela.Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu (biasanya ditemani anjing) (Sonjaya, 2008).

Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwapunahnya ono mbela di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias (ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi dan kebudayaan.

Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban –praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia. Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis: “In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.”

Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan, namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, menurut Zebua perlu dilakukan pembuktian triangulasi, mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid.

Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut:

“…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.”

Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian:

“……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65).

Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.

Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Mengenai hal ini, Yupiter Bago (dalam Zebua, 2008) berkomentar:

“Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu,menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang‘-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano‘ ke banua (kampung) lain.


Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat (Hammerle, 2001). Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.

Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008). Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu, orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan, jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang melanggar biasanya akan mendapat celaka (Sonjaya, 2008).

Namun, setelah ajaran Kristiani mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke19, ritual-ritual adat di Nias mulai ditinggalkan. Ajaran Kristen yang melarang antar sesama manusia saling membunuh, mengutuk tradisi pemujaan terhadap roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal, melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros, membuat pengaruh adat pelan-pelan semakin berkurang (Sonjaya, 2008). Namun, keberhasilan misi Kristiani di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut menjadi bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti ritual famaoso dalo (mengangkat kepala). Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Menurut sejarahnya, tradisi lombat batu baru berkembang di Nias bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan melompati batu yang tinggi (Zebua, 2008).

Tradisi Lompat Batu di Nias

Bagi orang Nias yang meyakini iman Kristiani sebagai panduan hidupnya, tradisi leluhur di atas memang sudah sepatutnya ditinggalkan. Jika mengenang tradisi leluhurnya yang banyak menampilkan sisi gelap, orang Nias seolah-olah berjuang keras untuk melawan beban sejarah dan trauma yang mendalam. Hal ini terbaca ketika orang Nias saat ini memberikan komentar atas tradisi leluhurnya.

“Mengenai tradisi mangani binu dalam budaya megalitik Nias, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi mangani binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Saudaraku, marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya ono niha yang bersemangat membangun bersama.”




Orang Nias ialah keturunan Dewa

Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah ciptaan Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau kemudian menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua buah, yang setelah dierami seekor laba-laba emas, yang juga merupakan ciptaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Mereka ini bernama Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis perempuan. Keturunan sepasang dewa pertama ini kemudian mendiami sembilan lapis langit. Untuk menciptakan sesuatu itu, Lowalangi mempergunakan udara dari berbagai warna sebagai bahannya. Warna-warna itu ia aduk dengan tongkat gaib yang disebut sihai.
Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu, yang bernama Sirao kemudian menjadi raja di langit lapisan pertama, yang terletak paling dekat dengan bumi. Nama langit lapisan pertama ini teteholi ana’a. Sirao ini mempunyai tiga orang istri, dan dari mereka itu masing-masing diperoleh riga orang anak laki-laki.Di antara kesembilan orang putra Sirao itu, timbul pertentangan untuk merebutkan singgasana pada waktu Sirao yang sudah lanjut usia itu, hendak mengundurkan diri dari pemerintahan.
Untuk mencegah persoalan itu men¬jadi gawat, Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas mata sembilan tombak, yang dipancangkan di suatu lapangan di muka istana. Sayembara itu ternyata dimenangkan oleh putranya yang bungsu, bernama Luo Mewona. Kebetulan sekali putra bungsu ini putra yang paling dikasihi orang tuanya dan juga sangat dihormati rakyatnya. Hal ini dikarenakan ia memiliki sifat-sifat yang rendah hati, walaupun sebenarnya ia adalah seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Sifat-sifat ini juga terlihat sewaktu ia sedang mengikuti sayembara itu. Oleh karenanya ia segera dikukuhkan menjadi yang dipertuan di teteholi ana’a, menggantikan ayahnya.Untuk menenteramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao kemudian mengabulkan permohonan mereka untuk dinidadakan (diturunkan) ke tano niha atau tanah manusia, yang merupakan nama asli dari Pulau Nias. Untuk mengawasi tingkah laku kakak-kakaknya itu, raja Luo Mewona menurunkan ke bumi Nias putra sulungnya yang bernama Silogu di Hiambanua Onomandra, di negeri Ulu Moro’o, yang terletak di Kecamatan Mandrehe sekarang, di Nias bagian barat.Dari kedelapan putra Sirao itu, empat orang dapat diturunkan dengan selamat, sehingga dapat menjadi leluhur mado-mado atau marga-marga orang Nias zaman sekarang. Dan mereka ini adalah:

(l). Hiawalangi Sinada atau disebut dengan nama kependekan Hia, yang diturunkan di Boronadu, Kecamatan Gomo, Nias bagian tengah, dan menjadi leluhur dari mado-mado Telaumbanua, Gulo, Mendrofa, dan Iain-lain;

(2). Gozo Helahela Dano, atau disebut Gozo saja, yang diturunkan di barat laut Hilimaziaya, Kecamatan Lahewa, Nias bagian utara, dan menjadi leluhur mado Baeha;

(3). Daeli Bagambolangi, atau Daeli saja, yang diturunkan di Tolamera, negeri Idanoi dari Kecamatan Gunung Sitoli, Nias bagian timur, dan menjadi leluhur mado-mado Gea, Daeli, Larosa, dan lain-lain;

4), Hulu Borodano atau Hulu saja, yang diturunkan di suatu tempat di Laehuwa, Kecamatan Alasa, di Nias bagian barat laut dan menjadi leluhur mado-mado Nduru, Bu’ulolo, Hulu, dan lain-lain. Silogu, putra sulung Luo Mewona yang diturunkan di Nias bagian barat, menjadi leluhur mado-mado Zebua, Bawo, Zega, dan Iain-lain.

Para putra Sirao yang empat lagi kurang beruntung, karena telah mengalami kecelakaan sewaktu proses nidada, sehingga tidak dapat mendarat dengan wajar di bumi Nias, untuk menjadi leluhur orang Nias. Mereka itu antara lain Bauwadano Hia atau disebut juga dengan nama Latura Dano, yang karena terlalu berat tubuhnya sewaktu diturunkan terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar, yang disebut Da’o Zanaya Tano Sisagoro,, Dao Zanaya Tabo Sebolo, yang berarti dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke dalam tanah, sehingga mengenai tubuhnya, hal ini akan membuat ia sangat marah. Ia akan menggoyang-goyangkan tubuhnya, sehingga timbulah gempa bumi. Untuk menghentikan goncangan bumi itu, orang Nias akan berseru, “Biha Tuha! Biha Tuha!” yang berarti, “Sudah nenek! sudah nenek!” Ucapan itu diserukan dengan maksud untuk menyatakan kepada ular raksasa itu bahwa mereka telah insyaf dan tidak akan saling membunuh lagi.

Putra yang lain bernama Gozo Tuhazangarofa, yang waktu diturunkan rantainya putus, sehingga ia tercebur ke dalam sungai untuk selanjutnya menjadi dewa sungai. Ia menjadi pujaan para nelayan karena ia adalah penguasa ikan-ikan.

Putra Sirao yang lain lagi Lakindrolai Sitambalina, yang pada waktu ditu¬runkan ke bumi Nias tidak jatuh ke bawah, tetapi melayang terbawa angin dan tersangkut di pohon dan menjelma menjadi Bela Hogugeu, yaitu dewa hutan, yang menjadi pujaan para pemburu.

Putra Sirao terakhir yang kurang beruntung bernama Sifuso Kara. Ia pada waktu diturunkan ayahnya ke bumi Nias jatuh di daerah berbatu-batu, di daerah Laraga sekarang, dan menjadi leluhur orang-orang gaib, yang berkesaktian kebal.




Yaahowu Ono Niha



Ya’ahowu

Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Pada umumnya pengartian dan pemaknaan kata Ya’ahowu diterjemahkan dengan “selamat”, tapi tidak menampung persis arti yang sebenarnya sebab “selamat” pengertiannya menuju kepada terbebaskannya dari sesuatu bahaya atau maut dan sebagainya.


Lalu bagaimana dengan kata fahowu’õ yang dapatditerjemahkan “berkatilah” ? Kata fahowu’ö merupakan bentuk kata kerja dari kata howu, namun dengan pemahaman memberi sesuatu yang adi kodrati, yang membuat si penerima segar, berbahagia dan terus bertumbuh atau berkembang.

Kembali kepada salam Ya’ahowu, apakah berasal dari kata yang menyatakan yang kodrati yaitu howu atau menyatakan adi kodrati yaitu howu-howu ? Kepada pembaca yang budiman dipersilakan meneliti dan menimbang, namun penulis berpendapat bahwa kata Ya’ahowu berasal dari kata yang menyatakan kodrati yaitu howu dan menjadi kata sifat yaitu ahowu dan terakhir mendapat bentuk optatif yaitu Ya’ahowu.

Kepada pembaca yang budiman dipersilahkan untuk merenungkan kalau dikatakan “Pesta Ya’ahowu” apakah terdapat dalam pemahaman si pengucap bahwa pesta yang mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang terus segar, bertumbuh atau sesuatu yang terus segar berkembang, dipersilahkan untuk memberi pendapat.


Sebetulnya asli kata Ya’ahowu berasal dari salam di wilayah Nias Selatan pada zaman dahulu ” Ya’ugo, ya’ami”
Ketika seseorang tamu datang lalu disapa dengan ” He Ya’ugoa!
Ketika banyak tamu datang lalu disapa dengan ” He Ya’ami!

Di DPRD Nias tahun 50-60-an pada saat itu banyak anggota dewan dari budayawan seperti Ama Rozama Mendrofa, Ama Yana Zebua,dll mereka mencaiptakan suatu salam dalam bahsa Nias : yang digabungkan antara salam dari wilayah nias selatan dan kata Yahwe, howu-howu, sehingga terbentukalah kata ” Ya’ahowu”

Artikel Lainnya:

Dalam Soera Gamaboe’oela Li Sibohooe H. Sunderman yang terbit di Amsterdam 1911 dan dicetak ulang oleh LAI Jakarta 1984, kata “Yaahowu” (ditulis menggunakan ejaan Van Ophuysen: “Ja’ahowoe”) sekurang-kurangnya muncul 9 kali, yakni dalam Matius 5:1-12, yang lebih dikenal sebagai “Kotbah di Bukit” atau “Ucapan Bahagia”.

Ayat 3: Ja’ahowoe zi noemana tõdõ, me chõra mbanoea zoroego andrõ.
Ayat 4: Ja’ahowoe zebolo tõdõ, me ja’ira zochõ oelidanõ dania.

dst … dst.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru edisi Bahasa Indonesia, padanan "Ja’ahowu" adalah "Berbahagia", dalam Alkitab berbahasa Inggris: ‘blessed’ yang berarti: ter(di)berkati – jadi lebih dekat dengan pengertian kata Yaahowu dalam Li Niha.


Kartu As Gokil 10 Hari Non-Stop dari Telkomsel




Kartu As Gokil 10 Hari Non-Stop dari Telkomsel

Promo terbaru dari Telkomsel ialah Kartu As Gokil 10 Hari Non-Stop
promo ini hanya berlaku untuk kartu As by Telkomsel, jadi untuk anda yang menggunakan produck competitor lain boleh deh dicoba asiknya pakai kartu AS, hehehe..
nah, bagi semua pelanggan Kartu As selamat ya... karna Telkomsel telah memberikan promo terbaik untuk anda.


Kini, dengan isi ulang mulai Rp10.000, pelanggan Kartu As akan mendapatkan gratis hingga 10 hari non-stop Nelpon / SMS / Internetan. Pelanggan bebas memilih gratisnya sesuai keinginan.


Nominal Isi Ulang

Gratis Nelpon Gokil

Gratis SMS Gokil

Gratis Internetan Gokil

Masa Berlaku Gratisnya

Rp10.000 - Rp15.000

20 menit

50 SMS

10 MB

1 hari

Rp20.000 - Rp25.000

100 menit

500 SMS

30 MB

2 hari

Rp50.000

300 menit

2,000 SMS

100 MB

5 hari

Rp100.000

1,000 menit

10,000 SMS

300 MB

10 hari





Cara mengaktifkan promo Gokil 10 Hari Non-Stop:

      1. Aktivasi promo dapat dilakukan pelanggan Kartu As di seluruh Indonesia & semua skema tarif dengan menghubungi:
             o  *100*888# atau,
             o  *100#, lalu pilih daftar
      2. Registrasi promo ini tidak dikenakan biaya
      3. Setelah sukses melakukan registrasi, pelanggan akan memperoleh SMS notifikasi
      4. Cukup registrasi 1 kali saja, Gokil 10 Hari Non-Stop akan berlaku selama periode promo


Cara mendapatkan gratisnya:

1. Setelah mengaktifkan promo Gokil 10 Hari Non-Stop, pelanggan yang melakukan isi ulang pulsa minimal Rp10.000 akan memperoleh SMS notikasi untuk melakukan pemilihan bonus yang diinginkan melalui *100*889#
2. Pelanggan akan memperoleh SMS notifikasi setelah berhasil melakukan pemilihan gratis yang diinginkan.
3. Pelanggan dapat memilih dan mengambil gratis yang diinginkan sejak pelanggan melakukan isi ulang pulsa hingga pukul 23.59 keesokan harinya.
4. Pelanggan dapat memeriksa bonus yang dimiliki melalui *889#. Gratis nelpon akan ditunjukkan dalam satuan detik sementara internet dalam satuan kB.
5. Pelanggan dapat kembali mendapatkan gratis tambahan dengan kembali melakukan isi ulang pulsa sesuai tabel di atas.

 
Ketentuan akumulasi masa berlaku gratis nelpon / SMS / internetan (jika pelanggan melakukan isi ulang pada saat masih memiliki saldo gratis nelpon / SMS / internetan)

1. Jika pelanggan memilih gratis yang sama dengan yang telah dimiliki, nominal gratis akan diakumulasi & masa berlaku gratisnya akan mengikuti masa berlaku terpanjang (masa berlaku tidak diakumulasi)

Contoh 1
Pelanggan melakukan isi ulang Rp20.000 pada tanggal 1 April dan memilih bonus nelpon 100 menit (berlaku hingga 2 April pk 23.59), kemudian digunakan hingga bersisa 50 menit
Di hari yang sama (1 April) pelanggan melakukan isi ulang Rp50.000 dan memilih bonus  nelpon 300 menit (berlaku hingga 5 April pk. 23.59)
Pelanggan akan memiliki bonus yang diakumulasi sisa 50 menit + 300 menit = 350 menit dengan masa berlaku terpanjang 5 April pk. 23.59 (bukan 2 April + 5 hari).
Contoh 2
Pelanggan melakukan isi ulang Rp100.000 pada tanggal 1 April dan memilih bonus nelpon 1.000 menit (berlaku hingga 10 April pk 23.59), kemudian digunakan hingga bersisa 500 menit
Pada tanggal 3 April, pelanggan melakukan isi ulang Rp50.000 dan memilih bonus  nelpon 300 menit (berlaku hingga 5 April pk. 23.59)
Pelanggan akan memiliki bonus yang diakumulasi sisa 500 menit + 300 menit = 800 menit dengan masa berlaku terpanjang 10 April pk. 23.59 (bukan 10 April + 5 hari).
 
   2.  Jika pelanggan memilih gratis yang berbeda dengan yang telah dimiliki, masa berlaku akan mengikuti masa berlaku untuk masing-masing gratisan (nelpon, SMS dan internet)



semoga bermanfaan,,,

Hasil Pilkada Gubernur Sumatera Utara 2013


Hasil Quick Count Pilkada Gubernur Sumatera utara 2013 sangat menarik untuk di simak karena bagaimanapun Sumatra Utara merupakan wilayah Indonesia yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat besar dan merupakan salah satu provinsi paling maju di Indonesia. Disamping itu Sumut merupakan wilayah yang berbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sehingga bisa dikatakan Provinsi dengan ibukota Medan tersebut adalah gerbang ekonomi terdepan bangsa ini.

Sebagaimana diberitakan bahwa Sumatera Utara mengadakan Pilkada yaitu pemilihan Gubernur yang akan memimpin 2013 - 2018 yang diikuti oleh 5 Calon yaitu :





  1. Gus Irawan Pasaribu - Soekirman (Gerinda, PAN, Barmas, Pelopor, dll).
  2. Effendi Simbolon - Djumiran Abdi (PDI-Perjuangan, PDS, dan Partai Peduli Rakyat Nasional).
  3. Chairuman Harahap - Fadly Nurzal (Golkar, PPP dan beberapa partai lain),
  4. Amri Tambunan - Rustam Effendi Nainggolan (Demokrat)
  5. Gatot Pujo Nugroho - Tengku Erry Nuradi (PKS, Hanura, Patriot dll).


Pada tanggal 7 Maret 2013, 10.310.872 masyarakat Sumut yang sudah memiliki hak suara akan memilih Gubernur baru di 33 Kabupaten / Kota, dan salah satu yang menyita perhatian adalah tentang Quick Count Hasil Pilkada Gubernur Sumatera utara 2013, karena walau baru sebatas hitungan cepat, namun keakurasian dan tingkat kesalahannya sangat kecil, dan terbukti hasil Quick Count selalu berbanding lurus dengan hasil resmi yang nanti ditetapkan. Bagi anda yang ingin mengetahui hasil quick count pilkada SUMUT, berikut ini hasil akhir berdasarkan dari beberapa sumber (seperti LSI dan Media Televisi) : 

1. Gus Irawan Pasaribu- Soekirman, dengan perolehan suara 21,84 %
2. Effendi Simbolon- Djumiran Abdi, dengan perolehan suara 24,18 %
3. Chairuman Harahap- Fadly Nurzal, dengan perolehan suara 9,3 %
4. Amri Tambunan- R.E Nainggolan, dengan perolehan suara 11,93 %
5. Gatot Pujo Nugroho- Tengku Eri, dengan perolehan suara 32,76 %

Data akhir akan kami update lagi setelah hasil dari berbagai sumber Lembaga Survey dan media berita nasional dikeluarkan sesaat lagi. 



Lompat Batu & Kebudayaan Nias lainnya


Beraneka Ragam Kebudayaan  Suku Nias ialah warisan Leluhur yang sangat berharga :


* Hombo Batu (Lompat Batu)



kekayaan Budaya yang diwariskan Leluhur yang menjadi kebanggaan Pemuda Nias salah satunya " Lompat Batu "  yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. yang   saat ini menjadi tujuan Wisata Dunia.

Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.

Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.

Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi ! 2 meter.

Dahulu, melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.

Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya.

Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi.

Seorang pemuda nias kita harus bangga dimana kita memiliki banyak aset kebudayaan berharga yang diwariskan oleh Leluhur kita yang saat ini menjadi objek Wisata Internasional, dan sebagai penerus generasi suku Nias kita bertanggung jawab untuk melestarikan Budaya tersebut karna kelangsungan Budaya yang sangat dikagumi ini ada di pundak kita.


* Tari Perang




* Tari Maena



* Tari Moyo


* Tari Mogaele



* Omo Hada(Rumah Adat)





dan masih banyak lagi Kebudayaan Nias
* Sapaan Ya'ahowu
* Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
* Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Kebudayaan warisan Leluhur ini sangat bernilai Positif dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi daerah Nias. sebagai pemuda Nias yang berada dimasa era Globalisasi, dengan kemajuan teknologi yang begitu pasat, Budaya Nias harus kita jaga dari pengaruh budaya luar yang bernilai negatif dan harus tetap kita lestarikan karna itu merupakan tanggung jawab kita untuk generasi Suku Nias berikutnya.